Krisis dan Peluang Saat Pandemi. Review Buku Post Corona : From Crisis to Opportunity karya Scott Galloway

PenulisKreatif.com – Krisis dan Peluang Saat Pandemi. Semua orang mengalami banyak perbedaan dan perubahan di 2020. Di seluruh dunia, pandemi Covid-19 mengubah rumah menjadi kantor, mengubah kencan makan malam menjadi sebuah obrolan video, dan banyak bar, cafe, restoran, tempat olahraga, dan bioskop tutup.

Buku ini mengulas mengenai sektor-sektor bisnis yang terdampak oleh pandemi. Baik dampak buruk maupun keuntungan. Tak dipungkiri, pandemi telah mengubah lanskap ekonomi kita. Sektor teknologi dan pengiriman barang mengalami banyak keuntungan. Sedangkan sektor pendidikan, perhotelan, dan hiburan mengalami kendala dan kerugian yang cukup besar.

Krisis dan Peluang Saat Pandemi menurut Scott Galloway

  1. Tren ekonomi di era pandemi Covid-19

Di bulan Februari 2020, masih menjadi masa-masa indah ketika kita masih bisa keluar rumah dengan nyaman, bertemu teman, bermain ke bioskop, ke konser maupun tempat gym. Bahkan saat berita coronavirus pertama muncul, seakan-akan itu sangatlah jauh.

Namun, hanya berselang 1 bulan kemudian, semuanya berubah. Virus itu ada dimana-mana. Mulai dari Italia hingga Spanyol, dan Jepang hingga ke Amerika. Banyak orang sekarat, rumah sakit penuh. Sekolah, pusat perbelanjaan, kantor, tempat hiburan semuanya ditutup.

Merebaknya virus ini di seluruh dunia merupakan peristiwa bersejarah. Untuk memperlambat penyebarannya, banyak aturan baru dari pemerintah yang dikeluarkan demi keamanan. Terutama adalah memakai masker dan menjaga jarak. Banyak bisnis mulai tutup dan memindahkan operasi mereka menjadi secara online.

Pandemi mempercepat tren ekonomi yang ada. Selama 2 dekade terakhir, sektor e-commerce berjalan cukup stabil. Hingga awal 2020, 16% dari ritel dilakukan secara online. Hingga pada bulan Maret, isolasi terjadi di mana-mana, ritel online berkembang menjadi 2x lipat hanya dalam 8 minggu.

Peningkatan serupa terjadi di sektor teknologi. Sebelum pandemi, sekolah dan universitas perlahan mengadopsi platform online. Kemudian, dalam hitungan minggu, hampir setiap kelas dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi beralih ke Zoom. Harga saham alat komunikasi meroket.

Namun, saat dunia beralih dengan cepat ke web, tingkat pengangguran pun melonjak, begitu juga di Amerika Serikat sebanyak 13%. Banyak keluarga berpenghasilan rendah yang mengalami PHK. Sehingga, sungguh terlihat adanya ketimpangan ekonomi yang buruk.

 

  1. Pandemi menjadi hadiah bagi perusahaan dengan posisi baik

Dalam hitungan bulan pasca pandemi melanda, banyak perusahaan-perusahaan bernama besar, runtuh. Mereka lesu secara finansial dan mengakibatkan kebangkrutan.

Namun, pasar saham bernasib baik. Faktanya, pada akhir Agustus 2020, indeks pasar seperti S&P 500 mencerminkan tahun yang cukup positif bagi investor.

Perjalan yang berlawanan arah ini tergantung pada kekuatan perusahaan. Perusahaan kuat yang menjalankan bisnisnya dengan sangat baik dapat mengalami kenaikan nilai di saat pandemi ini. Seperti halnya Amazon, pada Juli 2020 sahamnya naik 67%. Terlebih lagi Tesla, sahamnya naik hingga 242%.

Jadi, mengapa ada perusahaan yang melejit naik sementara yang lainnya sangat mudah berjatuhan?

Penulis Scott Galloway memiliki pendapat bahwa pasar sedang mencari keseimbangan. Ketika satu sektor mulai goyah, investor meletakkan uang mereka di alternatif yang lebih aman. Lihat apa yang terjadi pada industri perhotelan. Ketika restoran, bar, dan hotel ditutup untuk memperlambat penyebaran virus, saham di sektor ini turun rata-rata 50 hingga 70%. Investor memindahkan uang mereka ke bisnis yang terlihat lebih solid, dalam arti lain, perusahaan besar dengan pendanaan yang lebih baik.

Tindakan pemerintah juga telah menentukan sektor mana yang selamat dari pandemi. Beberapa bisnis, seperti maskapai penerbangan, seharusnya benar-benar runtuh karena adanya pembatasan sosial.

Namun, pihak berwenang melihat mereka sebagai hal yang penting, sehingga sektor-sektor tersebut telah menerima dana talangan yang besar. Misalnya, pada April 2020, AS memberi industri penerbangannya $25 miliar. Uang itu digunakan untuk melindungi masa depan perjalanan udara komersial.

Netflix dan Shopify berkembang pesat ketika orang-orang tinggal di rumah untuk streaming film atau berbelanja, jadi mereka bernasib sangat baik. Selain itu, perusahaan pengiriman barang dan makanan serta konsultasi dokter online juga mendapatkan keuntungan dari adanya pandemi ini.

 

  1. Krisis virus corona telah membuka lapangan untuk ekspansi perusahaan teknologi

Dalam 5 bulan antara Maret dan Juli 2020, COVID-19 membunuh lebih dari setengah juta orang di seluruh dunia. Ini adalah periode yang benar-benar mengerikan.

Namun, bagi perusahaan teknologi yang besar, ini adalah 5 bulan dengan berita baik tentang meningkatnya nilai perusahaan mereka. Faktanya, 9 perusahaan teknologi besar dunia melihat nilai pasar mereka meningkat hampir 2 triliun dolar.

Mungkin pemenang terbesar adalah Amazon, Apple, Facebook, Google, dan Microsoft. Pada pertengahan tahun 2020, 5 perusahaan ini melakukannya dengan sangat baik. Sehingga, jika digabungkan, mereka menyumbang 21% dari nilai semua perusahaan yang diperdagangkan secara publik di AS. Kabar ini tentu tidak mengejutkan, karena mereka juga telah melakukan semuanya dengan sangat baik bahkan sebelum pandemi. Di tengah kekacauan wabah, raksasa ini telah berhasil menggunakan ukuran dan modal mereka untuk ekspansi lebih lanjut.

Sebagai contoh, Amazon. Di tahun 2020, perusahaan ini berkembang sangat pesat dari hanya menjual buku menjadi menjual segala hal. Dia juga menawarkan jasa dukungan teknis melalui Amazon Web Service, layanan pengiriman, bahkan menjalankan kerajaan medianya sendiri. Dan pandemi, menjadi percepatan bagi masing-masing sektor tersebut.

Tentu saja Amazon mendapatkan banyak uang ekstra dari pandemi. Uang tersebut digunakan CEOnya, Jeff Bezos, untuk berinvestasi di infrastruktur medis. Dan hampir pasti dia tidak akan berhenti di situ. Amazon dapat memanfaatkan penyimpanan data pelanggannya yang besar untuk menawarkan asuransi kesehatan yang kompetitif dan dipersonalisasi. Atau mungkin, perusahaan dapat menambahkan janji temu dokter virtual dan pengiriman obat resep ke layanan Amazon Prime yang populer.

Tentu saja, Amazon bukan satu-satunya perusahaan yang mencari cara baru untuk berkembang. Apple juga telah mendorong penawaran baru. Meskipun perusahaan ini terkenal dengan‌‌perangkat keras andalannya seperti iPhone, perusahaan ini memasuki permainan media. Layanan berlangganan seperti iCloud, Apple Music, dan Apple TV+ menawarkan pendapatan tetap bagi perusahaan bahkan selama masa krisis.          ‌

Review Buku Post Corona, From Crisis to Opportunity karya Scott Galloway

  1. Investor selalu mencari hal besar

Pada tahun 2013, pemodal ventura Aileen Lee menyebut perusahaan rintisan yang menjanjikan senilai lebih dari satu miliar dolar sebagai unicorn. Sebuah binatang mitos yang langka. 10 tahun lalu, Lee mengidentifikasi hanya ada 39 perusahaan dengan kriteria yang dimaksud. Namun kini, ada 400 perusahaan unicorn bermunculan. Dan 42 diantaranya muncul di tahun 2019. Jadi, pandemi meningkatkan jumlah populasi perusahaan unicorn.

Satu dekade pertumbuhan teknologi, memberi pemodal ventura banyak uang untuk diinvestasikan di perusahaan lain. Misalnya, Softbank, menggelontorkan lebih dari $100 miliar ke perusahaan baru.

Namun, banyak perusahaan yang menerima uang tunai ini lebih didorong oleh hype daripada ekonomi yang sehat. Ketika CEO baru yang ambisius ingin mengumpulkan uang, mereka membuat klaim yang berani dan tidak jelas tentang inovasi dan disrupsi. Promosi semacam ini terkadang disebut yogabable dan ini tidak ada hubungannya dengan menjalankan bisnis yang berkelanjutan.

Sayangnya, karena pandemi memusatkan lebih banyak uang di tangan segelintir orang, jenis investasi berisiko ini menjadi lebih populer. Perusahaan seperti Apple, Google, dan Facebook dibanjiri uang tunai, lapar untuk memperluas penawaran mereka, dan bersedia menghabiskan banyak uang untuk membeli pesaing potensial.

Beberapa perusahaan kemungkinan akan mencapai penilaian triliunan dolar di tahun-tahun mendatang. Ini akan menjadi perusahaan rintisan yang dapat menggabungkan pertumbuhan pesat dengan pendapatan tinggi, menghasilkan uang tetap dari model berlangganan, dan menawarkan produk yang semakin berguna seiring waktu. Contohnya Spotify, perusahaan rintisan layanan keuangan seperti aplikasi investasi Robinhood, dan Uber.‌

 

  1. Pandemi global memaksa perguruan tinggi untuk berinovasi

Sebuah industri yang akan mengalami disrupsi, terlihat dari adanya indeks gangguan/disrupsi yang bisa diukur. Biasanya, hal ini terlihat dari biayanya yang cukup mahal namun tidak disertai dengan perbaikan kondisi barang atau jasanya.

Contoh nyata adalah industri pendidikan, terutama pada perguruan tinggi. Dalam 4 dekade terakhir, biaya perguruan tinggi melonjak tinggi tanpa adanya perbaikan kondisi kampus dan sarana prasarana. Mereka enggan memberikan penawaran dan mengadopsi teknologi baru, hingga akhirnya pandemi covid-19 memaksanya demikian.

Sebelum pandemi, universitas melakukan peningkatan biaya kuliah untuk membuat mereka tetap bertahan. Ini akibat adanya pemotongan biaya pendidikan publik. Akibatnya, banyak mahasiswa yang ingin berkuliah harus berhutang pada bank untuk dapat membiayai kuliah mereka. Pada tahun 2019, rata-rata lulusan meninggalkan perguruan tinggi dengan utang hampir $30.000.

Hutang yang mereka lakukan digunakan untuk memperoleh fasilitas universitas, kuliah tatap muka, dan semua kesenangan kehidupan kampus. Kemudian, pada tahun 2020, pandemi merenggut itu semua.

Mahasiswa harus membayar biaya untuk kuliah secara online, yang seringkali dilakukan secara tergesa-gesa dan kurang persiapan. Bahkan 75% mengatakan bahwa e-learning tidak bekerja untuk mereka. Lebih menyedihkan lagi, 1 dari 6 siswa  sekolah menengah atas berniat untuk menunda masuk perguruan tinggi hingga pandemi selesai.

Tren ini adalah bencana bagi perguruan tinggi. Jika antusiasme tetap rendah, banyak yang akan bangkrut. Untuk keluar dari permasalahan ini, universitas perlu melakukan pendekatan dengan peningkatan kualitas di kelas online mereka. Dengan upaya, dosen dapat membuat mereka lebih menarik. Mungkin  dapat menggunakan teknologi video untuk menghadirkan pembicara tamu, atau mengadopsi alat untuk mendorong diskusi online.

Peningkatan ini tidak hanya akan membuat siswa tetap aktif, tetapi juga memungkinkan perguruan tinggi untuk memperluas penawaran mereka. Kursus online yang baik dapat menjangkau lebih banyak siswa dan biayanya tidak terlalu mahal.

Berinvestasi sekarang dalam pendekatan baru untuk mengajar dapat membuat pendidikan masa depan dapat diakses dan berkelanjutan.

 

  1. Dibutuhkan komunitas yang kuat dan bekerjasama baik untuk bertahan dari krisis

Virus covid-19 yang sangat mudah menyebar ini tampaknya lebih berbahaya untuk mereka yang sudah memiliki gangguan medis. Mereka yang memiliki diabetes, asma, masalah usia, mungkin akan lebih rentan.

Namun kini, setelah kita hidup berbulan-bulan dengan pandemi, masalah menjadi lebih serius. Virus telah membuat semuanya menjadi lebih rentan, tidak hanya mereka yang memiliki komorbid dan lanjut usia.

Selama beberapa dekade, AS telah menderita akibat pemerintahan yang buruk, rasa kewajiban sipil yang rendah, dan sistem ekonomi yang menguntungkan segelintir orang kaya. Akibatnya, pandemi virus corona jauh lebih serius dari yang seharusnya.

Adanya pandemi ini sangat memukul pemerintah AS. Awalnya, pemerintah tidak siap. Selama beberapa dekade, politisi konservatif berjuang untuk mengurangi pengeluaran negara dengan segala cara. Jadi, pada 2019, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit hanya memiliki anggaran $7 miliar. Amerika menghabiskan banyak uang untuk militernya hanya dalam empat hari.

Hal ini diperparah dengan adanya bantuan ekonomi pemerintah yang salah sasaran. Pembatasan sosial tidak hanya memperlambat penyebaran penyakit, namun juga mengerem laju ekonomi. Banyak bisnis tutup dan orang-orang kehilangan pekerjaannya. Namun, bantuan ekonomi hanya turun sangat sedikit untuk warga kecil. Sedangkan untuk korporat, dana tercurahkan cukup banyak untuk pemotongan pajak dan dana talangan.

Akibatnya, banyak miliarder semakin kaya di tengah-tengah banyak warga yang berjuang.

Negara lain mungkin bertindak lebih masuk akal. Misalkan Jerman, dengan program Kurzarbeit. Program ini memungkinkan pengusaha merumahkan pekerja mereka yang berisiko untuk memperlambat virus. Sebagai gantinya, ia membayar dua pertiga dari gaji para pekerja itu, sehingga mereka dapat terus hidup tanpa khawatir.

Contoh lain di Korea Selatan, mereka mempekerjakan banyak orang untuk menjalankan program pelacakan dan penelusuran covid-19.

Mungkin AS bisa mencoba strategi berikut. AS bisa membayar orang-orang muda dan sehat untuk melakukan upaya bantuan demi bangkit dari pandemi. Melakukan hal itu akan merangsang ekonomi dan membantu membangun kembali semangat pelayanan kabupaten yang hilang.

Ingin memiliki bukunya ? Beli disini saja

Kesimpulan :

Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 membuat banyak bisnis goyah, bahkan runtuh. Namun, tidak berlaku untuk perusahaan teknologi besar yang memiliki sistem kuat. Adanya pandemi, memaksa banyak sektor untuk membuat penawaran baru dan mengikuti arus teknologi demi bertahan hidup. Virus ini sangat parah di Amerika Serikat, tetapi bisa diatasi dengan mengambil pendekatan baru dapat menyelamatkan nyawa dan mengatur ulang ekonomi.

Apa yang bisa dilakukan :

  • Meningkatkan kapasitas diri.‌‌
  • Menjaga kesehatan dan berusaha selalu bahagia untuk menjaga imunitas.

Leave a Comment