Banyak yang suka dengan istilah ini; muslim kreatif, kreatif muslim, moslem reative atau ungkapan lain yang sejenis. Tapi apakah Anda tahu apa maksudnya atau ini hanya ungkapan saja? Dalam artikel ini saya coba akan membahasnya. Tentu membahas tentang hal yang beririsan dengan islam dan muslim ini saya juga harus membahas dengan apa yang pernah diajarkan oleh almamater saya, Pondok Modern Gontor.
Sekilas Pondok Modern Gontor
Akan banyak yang menilai Gontor dari banyak sisi. Tak aneh, sebagai prototype Pendidikan Pondok Modern di Indonesia, Gontor mempunyai banyak alumni yang tersebar di seluruh dunia. Yang jika kita tanyakan pada mereka, “Gontor itu bagaimana sih? Atau “pendidikan Gontor itu seperti apa?” Maka jawabannya akan beragam sesuai apa yang dilakukan oleh si penjawab saat di pondok. Dan ini sah-sah saja, mengingat Gontor tidak pernah membatasi santrinya untuk berekspresi apalagi mendikte harus begini dan begitu supaya semua santrinya tampak seragam. Mungkin ini point utama mengapa saya pantas menyandingkan nama Gontor dengan kata yang lain, kreativitas.

Pondok kreatif ?
Ya, jika boleh saya menyebutnya seperti itu. Di saat yang lain merasa hebat dengan akan menggabungkan antara pesantren dan internet marketing (yang lagi ngetrend belakangan ini), Gontor yang berdiri tahun 1926 seakan sudah mempraktikkan kreativitas dalam keseharian santrinya.
Buktinya apa?
Bukti termudahnya adalah setiap santri dibebaskan untuk memilih apa yang dia suka selama di pondok, mendalaminya hingga ahli di bidang itu. Maka mungkin terasa aneh dengan pesantren yang kegiatan kursus dan ekstra kulikulernya sangat banyak ini, di saat lembaga lainnya memadu padankan kegiatan ini hanya untuk sekolah. Itulah Gontor, karena apa yang dilihat, didengar dan dirasakan adalah pendidikan.
Ya, Gontor ingin santrinya tidak hanya ahli dalam satu hal saja. Tapi sebagai jalan dakwah santrinya ada di semua bagian dalam kehidupan, misalnya di bidang pendidikan, seni, politik, bisnis, olah raga, teknologi, kesehatan, dsb. Intinya sejak mereka diasuh dalam pendidikan pondok, mereka sudah diberi jalan untuk menemukan jati dirinya sendiri.

Realita vs Istilah yang Baru Ada
Jangan merasa keren dengan istilah baru. Ojo kagetan, itu kata orang timur. Saya sendiri kadang merasa apa yang kita alami dalam hidup ini hanya pengulangan saja. Atau kadang hanya penemuan istilah baru yang sudah ada sejak dulu. Termasuk dalam hal system pendidikan yang terus berubah hingga saat ini.
Sebagai contoh mudahnya saya alami saat saya pengabdian di Institut Studi Islam Darussalam (ISID, sekarang universitas Darussalam), saat itu saya mengikuti seminar yang diadakan di kampus tentang Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Sepanjang seminar jujur saya merasa takjub dengan system ini. Betapa tidak, tujuan pendidikannya adalah berusaha menjadikan anak sukses dalam proses pendidikannya sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya.
Sepintas memang terlihat keren, apalagi bersamaan saat itu muncul teori Multiple Intellegence, yang awalnya mengusung 8 jenis kecerdasan oleh Howard Gardner, tokoh pendidikan dan psikologi terkenal lulusan Harvard University. Momen diberlakukannya KBK dengan Multiple Intelllegence seakan pas, satu kebijakan di negeri ini mendapatkan waktu yang tepat dengan konsep pendidikan yang sedang ngetrendi di tingkat internasional. Tak aneh jika pemateri saat itu sangat bersemangat menyampaikan konsep pendidikan ini.
Tapi lagi-lagi kami selanjutnya harus dibuat lebih takjub lagi saat di akhir seminar, sebelum penutupan salah seorang narasumber mengatakan,
“Tadi padi setelah Subuh saya menyempatkan diri untuk melihat langsung kegiatan di Gontor sejak pagi hingga sekitar jam 10 sebelum saya kesini. Saya takjub, ternyata multiple intelligence yang kita sampaikan ke berbagai lembaga pendidikan ini sudah lama berada di Gontor lewat kegiatan santri di luar pelajaran formal. Ini adalah realita yang ada sebelum istilah ini ditemukan.”
Kami para mahasiswa yang hadir hanya tersenyum. Ya, begitu visionernya para pendiri pondok Gontor ini, beliau tahu bagaimana arah pendidikan ini akan berkembang jauh dari zamannya. Mungkin dengan bekal ilmu, pengetahuan dan niat tulus mengabdikan diri kepada umat lah yang menjadikan para pendiri ini diberik kelebihan oleh Allah untuk melihat bagaimana pendidikan yang dibutuhkan oleh umat jauh ke depan bahkan puluhan tahun hingga saat ini.

Kreativitas itu Praktik dan Totalitas
Sering kan mendengar kabar ada seorang alumni Gontor yang sukses pada bidang tertentu? Tapi pernah bertanya dengan apa yang dilakukannya selama masih santri? Ya, jawabannya rata-rata sama. Mereka sukses karena niat yang kuat dan ketekunan untuk mendalami apa yang ia sukai.
Di Gontor, kami sering menjumpai, beberapa orang dengan semangatnya membuat dekor sebuah acara dengan hasil yang sangat bagus, hanya istrirahat saat ishoma, masuk kelas, bahkan tidak jarang mengorbankan waktu tidurnya, besok sampai ngantuk di kelas, untuk menyelesaikan dekor yang layak untuk sebuah acara. Bandingkan dengan di lembaga pendidikan lainnya, yang kadang untuk dekor biasanya dikerjakan oleh pihak luar, jika pun anak didik yang mengerjakan, biasanya hasilnya kurang memuaskan. Mengapa? Karena di Gontor setiap ekstra kulikuler dan kursus ada penanggung jawabnya, bahkan hingga ke tingkat alumni (Ustadz) yang juga mengabdi di pondok sebagai guru.
Saat ini bahasa kerennya adalah passion. Memilih passion bagi santri di Gontor sudah “ditawarkan” sejak seorang santri menginjakkan kakinya pertama kali di pondok. Karena setiap kursus itu ada tempatnya sendiri dan difasilitasi.
Passion, praktek setiap hari dan tanggung jawab yang diberikan terus meningkat terhadap apa yang dipilih inilah yang menjadikan mereka semakin ahli. Saat mereka keluar pondok tidak jarang mereka lebih mendalaminya hingga menjadi professional.
Saya pribadi, saat di pondok merasa terbantu dengan adanya 2 perpustakaan dan forum Forum Pengembangan Pengatahuan dan Wawasan Santri (FP2WS). Di sana saya mengasah kemampuan saya menulis dan berdiskusi hingga menjadi lebih tertantang lagi untuk menciptakan tulisan. Alhamdulillah saat menjadi alumni hanya menapaki dan memfokuskan diri saja dengan jenis tulisan yang akan saya tulis.
Muslim kreatif bukanlah jargon semata. Atau menggabungkan antara pendidikan pesantren dengan berbagai macam ekstrakulikuler, tapi untuk mencetak seorang muslim kreatif seorang santri harus diberi kesadaran bahwa apa yang dilakukannya di pondok kelak akan menjadi jalan dakwahnya di masyarakat. Saat hal ini terjadi maka sejatinya bukan hanya output pendidikannya menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, tapi para pendiri dan pimpinannya serta sistemnya mendukung ke arah itu.
Semoga Gontor terus bisa berkhidmat bagi umat, salahsatunya dengak kiprah para alumninya yang tersebar di segala bidang dan tempat. Fii Ayyi ardin tato’ antum mas’ulun ala Islamiha. Insaa Allah.
